Kamis, 21 Juni 2012

Permasalahan SDM Kesehatan Dalam Persaingan Global

Sumber daya manusia (SDM) merupakan salah satu faktor kunci dalam pembangunan negara dan bangsa. SDM yang diharapkan adalah SDM mampu bersaing dalam percaturan global dalam kualitas dan ketrampilan standar dunia kerja. Demikian pula SDM bidang kesehatan, diharapkan dapat berperan besar dalam pembangunan kesehatan dan mengangkat harkat dan derajat kesehatan masyarakat Indonesia.
Sumber Daya Manusia Kesehatan (SDM Kes) merupakan faktor penting dalam pemberian pelayanan kesehatan yang bermutu. Oleh karena itu, pengembangan SDM Kesehatan merupakan faktor kunci dalam pencapaian tujuan Millenium Development Goals (MDG’s) dan peningkatan status kesehatan masyarakat.
Berdasarkan World Health Organization (WHO),
SDM kesehatan adalah semua orang yang kegiatan pokoknya ditujukan untuk meningkatkan kesehatan. Mereka terdiri dari orang-orang yang memberikan pelayanan kesehatan seperti dokter, perawat, apoteker, teknisi laboratorium,manajemen serta tenaga pendukung seperti bagian keuangan, sopir dan lain sebagainya. Secara kasar, WHO memperkirakan terdapat 59.8 juta tenaga kesehatan di dunia dan dari jumlah tersebut diperkirakan dua pertiga (39.5 juta) dari jumlah keseluruhan tenaga kesehatan memberikan pelayanan kesehatan dan sepertiganya (19.8 juta) merupaakan tenaga pendukung dan managemen (WHO 2006).

Peningkatan Derajat Kesehatan di Negara Berkembang dan Negara Maju

Di zaman yang semakin maju seperti sekarang ini maka cara pandang kita terhadap kesehatan juga mengalami perubahan. Dahulu kita mempergunakan paradigma sakit yakni kesehatan hanya dipandang sebagai upaya menyembuhkan orang yang sakit dimana terjalin hubungan dokter dengan pasien (dokter dan pasien). Namun sekarang konsep yang dipakai adalah paradigma sehat, dimana upaya kesehatan dipandang sebagai suatu tindakan untuk menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan individu ataupun masyarakat (SKM dan masyarakat). Dengan demikian konsep paradigma sehat H.L. Blum memandang pola hidup sehat seseorang secara holistik dan komprehensif. Peranan Sarjana Kesehatan Masyarakat dalam hal ini memegang kendali dominan dibandingkan peranan dokter. Sebab hubungan dokter dengan pasien hanya sebatas individu dengan individu tidak secara langsung menyentuh masyarakat luas. Ditambah lagi kompetensi dalam memanagement program lebih dikuasai lulusan SKM sehingga dalam perkembangannya SKM menjadi ujung tombak program kesehatan di negara-negara maju.
Untuk negara berkembang seperti Indonesia justru, paradigma sakit yang digunakan. Dimana kebijakan pemerintah berorientasi pada penyembuhan pasien sehingga terlihat jelas peranan dokter, perawat dan bidan sebagai tenaga medis dan paramedis mendominasi. Padahal upaya semacam itu sudah lama ditinggalkan karena secara financial justru merugikan Negara. Anggaran APBN untuk pendanaan kesehatan di Indonesia semakin tinggi dan sebagian besar digunakan untuk upaya pengobatan seperti pembelian obat, sarana kesehatan dan pembangunan gedung. Seharusnya untuk meningkatan derajat kesehatan kita harus menaruh perhatian besar pada akar masalahnya dan selanjutnya melakukan upaya pencegahannya. Untuk itulah maka upaya kesehatan harus fokus pada upaya preventif (pencegahan) bukannya curative (pengobatan).Namun yang terjadi anggaran untuk meningkatkan derajat kesehatan melalui program promosi dan preventif dikurangi secara signifikan. Akibat yang ditimbulkan adalah banyaknya masyarakat yang kekurangan gizi, biaya obat untuk puskesmas meningkat, pencemaran lingkungan tidak terkendali dan korupsi penggunaan askeskin. Dampak sampingan yang terjadi tersebut dapat timbul karena kebijakan kita yang keliru.
Seperti yang kita ketahui bahwa semua negara di dunia menggunakan konsep Blum dalam menjaga kesehatan warga negaranya. Untuk Negara maju saat ini sudah fokus pada peningkatan kualitas sumber daya manusia. Sehingga asupan makanan anak-anak mereka begitu dijaga dari segi gizi sehingga akan melahirkan keturunan yang berbobot. Kondisi yang berseberangan dialami Indonesiasebagai Negara agraris, segala regulasi pemerintah tentang kesehatan malah fokus pada penanggulangan kekurangan gizi masyarakatnya. Bahkan dilematisnya banyak masyarakat kota yang mengalami kekurangan gizi. Padahal dari hasil penelitian membuktikan wilayah Indonesia potensial sebagai lahan pangan dan perternakan karena wilayahnya yang luas dengan topografi yang mendukung.Ada apa dengan pemerintah?. Satu jawaban yang pasti seringkali dalam analisis kesehatan pemerintah kurang mempertimbangkan pendapat ahli kesehatan masyarakat (public health) sehingga kebijakan yang dibuat cuma dari sudut pandang kejadian sehat-sakit.
Hal inilah yang menyebabkan dalam pasar tenaga kerja di dalam negeri, SDM bidang kesehatan masih belum mencukupi dalam upaya pelayanan kesehatan pada seluruh pelosok negeri. SDM bidang kesehatan seperti dokter, bidan dan perawat relatif sudah menyebar, namun SDM tenaga kesehatan seperti epidemiolog, nutrisionist dan tenaga profesi kesehatan masyarakat lainnya belum terdistribusi secara memadai. Bila tenaga kesehatan seperti dokter, bidan dan perawat berfungsi dalam pelayanan kesehatan bersifat kuratif, maka SDM tenaga profesi kesehatan masyarakat bersifat promotif-preventif.

SDM Bidang Kesehatan di Mancanegara

Problem SDM Kesehatan di Indonesia saat ini adalah jumlah yang tidak memadai dan distribusi yang tidak merata. Hal ini berdampak terhadap kualitas dan aksesbilitas layanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat. Kebutuhan mendesak tenaga kesehatan terutama sangat dirasakan oleh daerah terpencil dan tertinggal yang jauh dari pusat kota. 


Guna meningkatkan aksesibilitas dan kualitas layanan kesehatan, pemerintah dituntut untuk menyediakan tenaga kesehatan, terutama di daerah terpencil, tertinggal dan wilayah perbatasan (dacilgaltas). Dari 364 puskesmas di daerah dacilgaltas yang tersebar di 64 kabupaten pada 17 provinsi, ada 184 buah puskemas (51 persen) belum memiliki tenaga kesehatan (dokter). Didaerah terpencil, layanan kesehatan kerap dirangkap oleh perawat dan bidan desa untuk tugas medis yang seyogyanya dilakukan oleh seorang dokter, seperti pemberian obat-obatan kepada pasien. 
Data Departemen Kesehatan (Depkes) 2006, jumlah tenaga medis (dokter spesialis, umum dan gigi) tercatat 68.227 orang, bidan 79.152 orang dan perawat 316.306 orang. Target hingga tahun 2010 jumlah kebutuhan SDM tenaga dokter adalah 117.969 orang, bidan 176.954 orang, tenaga keperawatan 587.487 orang, tenaga kesehatan masyarakat 42.649 orang, dan tenaga gizi 42.469 orang. Tenaga kerja perawat adalah salah satu SDM Indonesia yang mulai mampu bersaing di pasar tenaga kerja global. Media di Jepang pada hari Jumat 25 Maret 2011 sebagaimana dilaporkan Tori Minamiyana, pewarta warga Kompasiana memberitakan bahwa Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang mengumumkan kelulusan 15 orang perawat asal Indonesia yang telah sukses menempuh Ujian Nasional Keperawatan Jepang yang diselenggarakan pada pada tanggal 20 Februari 2011 yang lalu dan diikuti oleh 250 perawat Indonesia yang bekerja di Jepang dalam kerangka perjanjian ekonomi Indonesia - Jepang (IJEPA), baik dari Gelombang I dan II. Pada ujian keperawatan tahun 2010 lalu, hanya 2 perawat asal Indonesia yang lulus ujian. Mereka adalah peserta program kerjasama Indonesia - Jepang, dalam rangka Perjanjian Kemitraan Ekonomi (EPA). Program ini didasari kepentingan kedua Negara, yaitu dari pihak Jepang memang kekurangan tenaga perawat dan pengasuh lanjut usia karena menurunnya populasi dan semakin banyaknya para lansia, sedangkan dari pihak Indonesia karena tersedianya banyak tenaga kerja yang bisa memenuhi kebutuhan itu dan perlunya memberi pengalaman para perawat Indonesia meningkatkan kemampuannya di negara matahari terbit tersebut.

Salah satu program kesehatan dunia yang saat ini telah menjadi topic global bahkan telah banyak diterapkan pada Negara-negara maju yaitu e-health yakni sebuah sistem yang mengintegrasikan database kesehatan seseorang dalam sebuah kartu, dan dengan kartu ini diharapkan pasien akan semakin mudah dan cepat dalam mendapatkan akses layanan kesehatan. Rencananya sistem layanan e-Health tersebut akan dimulai tahun 2016, pada saat sistem e-KTP generasi pertama selesai.. Penerapan e-health sendiri ditandai dengan SDM kesehatan yang memiliki nilai kompetitif. Namun, untuk yang satu ini, Indonesia memang agak ketinggalan dengan negara lain, sistem layanan digitalisasi data riwayat kesehatan pasien, e-Health memang belum bisa diterapkan dalam waktu dekat. Hal itu disebabkan sumber daya manusia (SDM) industri kesehatan yang ada belum menguasai teknologi secara keseluruhan. Beberapa yang harus dikuasai sebelum e-Health ini diterapkan adalah masalah informasi dan teknologi (IT). Hingga saat ini tidak semua rumah sakit hingga puskesmas memiliki infrastruktur IT memadai. Padahal, untuk menerapkan sistem layanan e-Health tersebut dibutuhkan infrastruktur IT yang cukup, koneksi dan integrasi antara pihak rumah sakit hingga masalah kecepatan akses bandwidth internet. Sebenarnya buta IT ini juga tidak dialami oleh pihak rumah sakit saja. Para dokter yang bekerja di rumah sakit tersebut juga harus menguasai IT.

Contohnya saja, dokter sampai saat ini masih menulis resep dengan tulisan tangan. Padahal apoteker bisa salah persepsi dalam membaca tulisan tangan dokter. Padahal dengan sistem e-Health tersebut semua akan digital, menulis resep juga digital. Tentunya akan memudahkan apoteker dalam membaca. 
Di Negara lain seperti Amerika Serikat,Jerman atau Australia, e-health sudah diimplementasikan dan terus berkembang. Bahkan di Eropa, e-health sudah mulai dikembangkan sejak tahun 1989. Untuk itu dengan e-Health tersebut, diharapkan agar Indonesia memiliki data riwayat kesehatan masing-masing penduduknya. Dengan adanya sistem layanan kesehatan yang bagus, termasuk data riwayat penyakit, akses layanan kesehatan yang mudah dan murah, maka masyarakat juga tidak perlu ke luar daerah atau ke luar negeri untuk berobat.
Solusi Permasalahan SDM Kesehatan
1. Unsur Pendidikan 
Upaya pengembangan kualitas sumberdaya manusia yang menjadi salah satu alternatif peningkatan kualitas masyarakat Indonesia harus diselaraskan dengan program-program pembangunan lainnya, sehingga dapat mencapai tujuan yang dicita-citakan. Hanya dengan keterpaduan tersebut sumber daya manusia dapat didayagunakan sebagai modal dari pembangunan. Keterpaduan ini mencakup bidang kesehatan, gizi, pendidikan dan latihan serta penyediaan lapangan kerja. Dengan demikian usaha peningkatan kualitas penduduk dapat dilakukan melalui tiga jalur strategik sasaran, yaitu : a).Usaha perbaikan gizi dan kesehatan masyarakat. b). Peningkatan pendidikan dalam arti luas, serta, c).Meningkatkan partisipasi penduduk dalam pekerjaan (labor participation ratio) dan mengurangi tingkat ketergantungan penduduk non produktif (dependency ratio).
2. Unsur Kesehatan
Peningkatan kualitas fisik penduduk sangat erat hubungannya dengan pembangunan dibidang kesehatan yang ditujukan untuk mencapai kemampuan hidup sehat sehingga tercapai suatu derajat kesehatan yang optimal. Dengan tingkat kesehatan dan kecukupan gizi yang baik, bisa diharapkan kualitas penduduk, khususnya kualitas fisik penduduk, dapat ditingkatkan. 
3. Unsur Kebijakan Tenaga Kerja
Dari sisi penawaran sudah barang tentu diperlukan program investasi yang bertujuan untuk menyiapkan tenaga kerja pada bidang-bidang yang diperlukan, dalam hal ini termasuk pada program pendidikan dan pelatihan, penempatan tenaga, latihan kerja (magang) dan program informasi bursa kerja. Program ini pada dasarnya diarahkan pada upaya menumbuhkan dan membina iklim yang menunjang usaha meningkatkan kesempatan kerja bukan hanya didalam negeri tapi juga diluar negeri.
Daftar Pustaka 


"Health Is Not Everything, But Without Health, Everything Is Nothing "




Tidak ada komentar:

Posting Komentar